Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara
Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah
yang sekarang menjadi wilayah Indonesia yang gugur atau meninggal dunia
demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan
tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar
biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Gelar Pahlawan Nasional ditetapkan oleh presiden. Sejak dilakukan
pemberian gelar ini pada tahun 1959, nomenklaturnya berubah-ubah. Untuk
menyelaraskannya, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009
disebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional mencakup semua jenis gelar yang
pernah diberikan sebelumnya, yaitu:
- Pahlawan Perintis Kemerdekaan
- Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Pahlawan Proklamator
- Pahlawan Kebangkitan Nasional
- Pahlawan Revolusi
- Pahlawan Ampera
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri
handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI
Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI,
Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia
menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda).
Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi
tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java,
De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya
komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan : Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia
juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi
Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama
Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu
organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes
Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi
diajaknya pula.
[sunting]Als ik een Nederlander was
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari
warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari
Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun
kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda"
(judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De
Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di
kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan
itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya.
Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh
Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal
Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri).
Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes
dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh
ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24
tahun.
Dalam pengasingan : Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging
(Perhimpunan Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi
dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu
ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam
mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini
Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti
Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan,
oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Pengabdian pada masa Indonesia merdeka : Patung Ki Hajar Dewantara
: Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat
gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas
tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan
Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28
November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Taman Siswa : Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar
bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat
ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia
dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di
kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa
Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam
dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan
Tamansiswa.
Sumber wikipedia , demikian ulasan singkat dari KhaZaAm blog mengenai pahlawan indonesia , semoga kumpulan pahlawan indonesia ini dapat bermanfaat ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar