Guru Honorer Membengkak


Para guru honorer yang diangkat pemerintah dengan dana APBN atau disebut guru bantu mendapat gaji sekitar Rp 1 juta per bulan dan kontrak diperbarui setiap satu tahun. Adapun guru honorer daerah mendapat gaji dari APBD sesuai dengan kemampuan setiap daerah.
Yang mengenaskan justru guru honorer yang diangkat kepala sekolah atau komite sekolah. Para guru ini mendapat honor Rp 50.000-Rp 500.000 per bulan yang bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) atau iuran orangtua siswa lewat komite sekolah.
Meski honor guru sangat minim, peminatnya tetap saja banyak sehingga banyak sekolah yang menghabiskan lebih dari 50-60 persen dana BOS untuk membayar gaji guru. Akhirnya, pemerintah menetapkan alokasi dana BOS untuk gaji guru maksimal 20 persen, sedangkan 80 persen lainnya untuk kegiatan operasional sekolah. Namun, kebijakan ini justru menyebabkan honor para guru honorer turun drastis, banyak yang sebesar Rp 50.000-Rp 250.000 per bulan.
”Meski ada guru honorer ’titipan’ pejabat lokal, banyak pula guru honorer yang betul-betul mengabdi untuk kemajuan pendidikan. Mereka mengajar belasan tahun, bahkan puluhan tahun, dengan honor yang sangat tidak manusiawi,” kata Ani Agustina, Ketua Umum Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia.
Selain tidak manusiawi, honor yang diterima pun belum tentu cair setiap bulan. ”Sudah tiga bulan ini honor belum cair,” kata Nurul Huda (46) yang mengajar di SD Negeri 1 Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Diskriminasi di sekolah
Kehadiran guru honorer di sekolah di satu sisi dibutuhkan, tetapi di sisi lain terpinggirkan dan ”dianaktirikan”. Meski memiliki beban mengajar yang sama dengan guru PNS, bahkan sering kali lebih berat dengan menjadi wali kelas atau guru pembimbing ekstrakurikuler, honor yang diterima guru honorer jauh di bawah upah minimum provinsi. Adapun guru PNS berpendidikan sarjana minimal mendapat gaji Rp 2 juta dan jika sudah lolos sertifikasi mendapat gaji dua kali lipat.
Selain diskriminasi di sekolah, pemerintah juga melakukan diskriminasi terhadap guru honorer. Misalnya, guru honorer meski sudah mengabdi puluhan tahun tetap tidak boleh ikut sertifikasi untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sertifikasi hanya boleh diikuti guru PNS dan guru tetap yayasan.
Sulistiyo mengatakan, karut-marut persoalan guru saat ini karena pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, tidak memiliki perencanaan soal kebutuhan, kompetensi, dan distribusi guru.
Syawal Gultom mengakui, peta kompetensi dan perencanaan kebutuhan guru memang belum ada dan masih dalam tahap penyusunan.
”Ini memang mengherankan. Lebih dari 66 tahun Indonesia merdeka, peta kompetensi dan kebutuhan guru saja belum ada. Apalagi untuk perencanaan pendidikan Indonesia ke depan,” kata Ketua Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Ayub Joko Pramono.

Sumber : http://nasional.kompas.com


Terima Kasih Untuk Semua Pengunjung/Pembaca KhaZaAm. Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar